Selasa, 03 Februari 2009

Arti Ibadah Menurut Islam (bagian 3).

05 BAGIMANA AMALAN DAPAT MENJADI IBADAH
SEBAGAIMANA yang telah kita katakan pada awal buku ini bahwa amal ibadah bukanlah bermakna shalat, puasa, zakat fitrah dan menunaikan haji saja, bahkan setiap amalan kita seperti yang diterangkan dalam Bab tiga dapat menjadi ibadah, baik yang asas, cabang atau yang umum. Ketiga bagian itu baik yang wajib, sunat dan mubah hanya akan menjadi ibadah kepada ALLAH jika pelaksanaannya menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam.

Apabila amalan kita menjadi ibadah dan mengikuti syariat Islam, maka barulah diberi pahala. Sekiranya amalan-amalan kita tidak mengikuti syarat-syarat syariat Islam, maka akan menjadi perbuatan yang sia-sia saja menurut pandangan ALLAH. Amalan itu tidak diberi pahala bahkan adakalanya mendatangkan dosa pula.

Setiap usaha dan perbuatan kita, agar menjadi ibadah kepada ALLAH perlu mencukupi lima syarat. Pertama, niat yang betul-betul karena ALLAH. Kedua, Pelaksanaannya mesti betul. Ketiga, perkara yang hendak dibuat itu jelas sah atau halal menurut syariat. Keempat, natijah atau hasil mesti betul. Dan kelima, tidak meninggalkan perkara-perkara yang asas. Seandainya amalan-amalan kita tidak mengikuti kelima syarat itu, maka tidak dapat diakui (diiktiraf) sebagai amalan Islam bahkan dianggap amalan jahiliah. Amalan itu tidak diterima oleh ALLAH Taala.

Bagaimana tindakan kita agar amal kita memenuhi syarat-syarat yang disebutkan itu hingga menjadi ibadah? Misalnya kita melibatkan diri dalam perniagaan dan hasrat kita perniagaan itu menjadi ibadah kepada ALLAH. Pertama kita perlu meneliti niat kita apakah sesuai dengan syarat pertama. Siapkan niat yang betul untuk menunaikan perintah ALLAH serta untuk membantu anggota masyarakat agar mendapat manfaat dari perniagaan kita. Kalau perniagaannya berupa makanan, makanannya mesti memudahkan umat Islam untuk membeli serta memenuhi keperluan hidupnya yang pokok, sedangkan kalau perniagaan kita berbentuk pelayanan masyarakat seperti pengobatan, notaris, penulisan dan bentuk-bentuk layanan profesional lainnya maka niatnya mestilah untuk berkhidmat kepada anggota masyarakat Islam karena ALLAH. Kalau perniagaan kita tidak diwujudkan, umat Islam akan susah karena terpaksa mendapatkan pelayanan dari orang yang bukan Islam. Begitu juga dalam bidang-bidang perniagaan yang lain di mana keberadaan perniagaan itu mesti diniatkan karena ALLAH dan memberi manfaat terutama untuk seluruh anggota masyarakat Islam.

Dengan demikian, kalau perniagaannya tidak membantu masyarakat Islam mendapatkan keperluan asasnya, seperti perniagaan yang membawa kehancuran hidup maka sukarlah mengukuhkan niat yang betul. Kemudian kita fikirkan tentang pelaksanaan perniagaan, yaitu cara kita menjalankan perniagaan. Tentunya hal itu melibatkan kejujuran, amanah dan bersih dari amalan-amalan yang bertentangan dengan syariat Islam dan sebagainya. Dan yang ketiga, kita perhatikan apakah dalam urusan perniagaan itu terhindar dari hal-hal yang tidak halal atau tidak mengikut syariat Islam, seperti perniagaan menjual arak, rokok dan sebagainya. Keempat, kita tinjau natijah (hasil) perniagaan itu di mana ka!au kita mendapat keuntungan, kita tidak mengabaikan zakatnya dan soal-soal pengorbanan serta turut membantu perjuangan menegakkan agama ALLAH serta membantu kaum yang miskin dan lemah. Yang kelima, kita perlu memikirkan soal-soal asas, yaitu dalam kesibukan kita menjalankan perniagaan kita tidak boleh melalaikan shalat, puasa dan sebagainya. Karena kesibukan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan yang wajib.

Pertimbangan yang sama boleh kita berikan untuk perbuatan lain misalnya dalam perbuatan mencari ilmu dan belajar. Apakah niat kita mencari ilmu itu karena menunaikan perintah ALLAH atau untuk mendapatkan jabatan dan pangkat yang tinggi supaya kita disanjung dan dimuliakan? Apakah pelaksanaan menuntut ilmu itu betul, di mana dalam proses mencari ilmu itu tidak terdapat pergaulan bebas antara lelaki perempuan yang bukan muhrim dan untuk perempuan apakah terjadi tidak menutup aurat? Kemudian, apakah ilmu yang kita pelajari itu sesuai dengan syariat Islam dan halal misalnya belajar ilmu Hukum Islam, Kedokteran, Perundangan Islam, Ilmu alam, ilmu hitung dan sebagainya? Yang mesti kita ingat, ilmu yang bertentangan dengan syariat contohnya adalah belajar ilmu mencuri, sihir (black magic), tari menari, bermain musik dan sebagainya. Bila ilmu telah diperoleh, maka hendaklah dijadikan alat untuk berbakti kepada ALLAH. Dan yang terakhir, dalam proses kita menuntut ilmu itu pula kita tidak boleh meninggalkan perkara yang asas seperti shalat, puasa dan sebagainya.

Bagaimana pula dengan seorang yang berjuang menegakkan agama ALLAH? Pada lahirnya sudah tentulah merupakan satu ibadah. Tetapi sekiranya tidak memenuhi syarat yang diterangkan itu amalannya akan menjadi sia-sia dan berdosa. Coba kita perhatikan.

Pertama, niatnya mestilah benar-benar untuk berjuang membela nasib bangsa dan tanah air serta benar-benar menegakkan agama karena ALLAH. Perlu diingat, membela nasib bangsa dan membebaskan tanah air dari penjajahan ataupun mempertahankan negara dari kekuasaan orang kafir adalah satu perintah ALLAH. Tetapi bila kita mempunyai niat yang tersendiri, yang merupakan kepentingan pribadi, maka perjuangannya menjadi tidak bermakna.

Kedua, ketika kita melaksanakan perjuangan itu, kita tidak melakukan kezaliman, menindas serta memfitnah orang lain.

Ketiga, apa yang kita perjuangkan itu jelas sah atau halalnya seperti berjuang melepaskan bangsa Islam yang dizalimi dan ditindas.

Keempat, natijah(hasil) perjuangan kita hendaklah betul yaitu setelah berjaya membebaskan bangsa dan negara dari penaklukan musuh atau setelah perjuangan kita berjaya, hendaklah menggunakan kejayaan itu untuk lebih meninggikan syiar lslam dan lebih mengukuhkan syariat Islam.

Dan yang kelima, dalam berjuang itu, perkara-perkara yang wajib tidak kita tinggalkan seperti shalat dan puasa.

Kadang-kadang dalam mencari rezeki kita mesti benar-benar faham apakah sesuai dengan lima syarat ibadah. Kita dapat tergelincir dalam usaha mencari rezeki hingga pegangan kita kadang-kadang menjadi salah. Bagaimana niat mencari rezeki yang benar? Yaitu mencari rezeki untuk menanggung dan membiayai hidup keluarga yang merupakan tuntutan wajib dari ALLAH. Terkadang ada di antara kita yang berniat untuk mencari kekayaan dan kemewahan hidup agar dipandang mulia dan dihormati masyarakat karena baginya kekayaan itu adalah kemegahan padanya.

Pelaksanaan dalam mencari rezeki perlu sekali dipertimbangkan karena banyak di kalangan kita yang salah hingga usaha-usaha yang bertentangan dengan syariat dianggap sebagai sumber rezeki. Mencuri, menjual kehormatan dan perbuatan sejenisnya kadang-kadang dianggap sebagai sumber rezeki yang benar, padahal sebenarnya bertentangan dengan syariat. Kadang-kadang dalam pelaksanaan mencari rezeki kita bergaul antara lelaki perempuan yang bukan muhrim. Itu juga salah.
Sah atau halalnya usaha-usaha kita dalam mencari rezeki dapat ditinjau dari jenis kerja yang kita lakukan misalnya bercocok tanam, menangkap ikan, berternak, bekerja di pabrik-pabrik yang hasilnya tidak bertentangan dengan syariat seperti pabrik roti, susu dan sebagainya dan bukannya pabrik-pabrik yang menghasilkan arak. Sumber keuangan tempat bekerja itu juga tidak bergantung sepenuhnya dengan hasil riba dan sebagainya.

Keempat natijah (hasil) mencari rezeki itu pun hendaklah dengan tujuan memberi makan, pakaian dan perlindungan kepada keluarga dan diri sendiri, bukannya untuk berjudi, bersenang-senang dengan berbagai bentuk hiburan atau meminum arak dan lain-lain yang sejenis.

Akhirnya, sewaktu mencari rezeki, jangan kita melalaikan perkara yang asas seperti shalat dan puasa atau lalai dalam mencari ilmu fardhu ain.

Coba kita perhatikan satu lagi contoh yang mudah, yaitu suatu pekerjaan yang mubah tetapi caranya salah hingga tidak lagi menjadi satu ibadah, yaitu bermusyawarah atau syura. Sebenarnya musyawarah memang menjadi tuntutan dalam Islam sebagaimana yang diterangkan oleh ALLAH.

Artinya: “Dalam urusan mereka (yaitu umat Islam) maka bermusyawarahlah sesama mereka.
(As Syura: 38)

Agar amalan bermusyawarah atau syura itu menjadi ibadah, mestilah memenuhi syarat ibadah. Untuk itu niat mengadakan musyawarah itu mesti betul yaitu untuk menjalankan perintah ALLAH. Kedua, melaksanakan musyawarah itu dengan betul misalnya tidak ada kaum perempuan yang membuka aurat di dalam perundingan. Ketiga, agenda perbincangan nyata halal atau sahnya di sisi syariat seperti membicarakan masalah nahyun anil mungkar atau tentang keselamatan umat dan negara, dan bukannya membicarakan bagaimana hendak membangun pabrik arak, tempat-tempat perjudian atau masalah bagaimana pelacuran boleh dihalalkan atau membahas untuk mengadakan majelis tari menari dan majelis hiburan dan seterusnya. Natijah musyawarah itu mesti betul yaitu setelah keputusan diperoleh, akan dilaksanakan dengan baik. Kelima ketika menjalankan musyawarah jangan ada yang lalai menunaikan shalat atau tidak berpuasa.

Demikianlah lima syarat ibadah bagi setiap amal dan perbuatan. Kalau setiap perbuatan kita, diselaraskan dengan syarat-syarat itu maka amal-amal kita dari wajib yang paling besar hingga mubah yang paling kecil, akan menjadi ibadah kepada ALLAH dan kita akan diberi ganjaran pahala dari-Nya.

06 LIMA SYARAT IBADAH

1. Niat

SEJAUH manakah kita telah mengamalkan niat dalam tiap perbuatan atau amalan kita. Oleh karena itu di dalam ajaran Islam, niat memainkan peranan yang penting untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal adat dan antara niat karena ALLAH dengan niat karena yang lain-lain. Agar perbuatan kita itu menjadi ibadah maka niat hendaklah betul. Artinya setiap perbuatan atau amalan kita sehari-hari mesti dimulai dengan niat. Sabda Rasulullah SAW :

Artinya: “Bahwasanya amalan-amalan itu adalah sah dengan niat dan adalah setiap seorang itu apa yang dia niatkan.

Dan sabdanya lagi:

Artinya: “Niat orang mukmin itu adalah lebih baik daripada amalanya. “

2. Pelaksanaan

Setiap amalan kita adalah satu peraturan. Sedangkan hidup kita dalam satu hari merupakan satu peraturan. Dan pelaksanaan di dalam satu hal atau satu perkara juga merupakan satu peraturan (nizam). Karena itulah pelaksanaan menentukan apakah satu amalan itu menjadi ibadah atau tidak. Dan karena itu juga kita harus mendalami pengertian mengenai pelaksanaan agar benar-benar di atas landasan syariat. Dalam hal ini ALLAH tidak akan membiarkan seseorang itu tanpa panduan jika benar-benar mempunyai hasrat mengikut syariat.

Untuk memelihara keselamatan manusia di dalam pergaulan agar senantiasa melaksanakan sesuatu menurut landasan yang ditetapkan, ALLAH berfirman:

Artinya: “Dan jika mereka berjuang pada jalan Kami (ikut peraturan Kami) sesungguhnya Kami akan tunjukkan jalan Kami (jalan keselamatan) bahwasanya ALLAH beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(Al Ankabut:: 69)

Dalam hal ini ulama juga berkata:

Artinya: “Yang hak kalau tidak ada peraturan akan dikalahkan oleh yang batil yang ada peraturan.”

3. Perkara (subyek)

Adapun perkara atau subyek yang menjadi tumpuan untuk dilaksanakan itu mestilah mendapat keredhaan ALLAH. Subyek yang paling utama mestilah suci agar benar-benar menjadi ibadah kepada ALLAH. Hal itu menjadi lebih penting dan utama bila pelaksanaan itu melibatkan soal makanan dan minuman seperti dalam mencari rezeki untuk dijadikan makanan keluarga atau dalam perniagaan makanan yang hasilnya menjadi makanan semua umat Islam. Dalam hal ini Rasulullah SAW memberikan keterangan dalam haditsnya yang berbunyi:

Artinya “Tiap-tiap daging yang tumbuh dari benda yang haram, maka neraka adalah yang lebih sesuai dengannya.”
(Riwayat At tarmizi)

Dan dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda yang maksudnya:

“Hati dibina oleh makanan dan minuman.”

Jadi nyata sekali bahwa Rasulullah SAW begitu mengutamakan perihal makanan karena kalau yang dimakan atau diminum itu kotor mengikut syariat islam, hati orang akan dibentuk sebegitu rupa hingga menjadi keras kepala dan sukar menerima kebenaran. Terkadang orang tersebut langsung menolak kebenaran dan menentangnya pula.

4. Natijah (Hasil)

Natijah merupakan hasil usaha seseorang. Hasil itu mesti baik karena merupakan pemberian ALLAH ataupun nikmat-Nya kepada hamba-Nya. Dan setelah itu, hamba-hamba yang dikaruniakan rahmat itu wajib bersyukur kepada ALLAH. Bagaimanakah seseorang itu menunjukkan tanda bersyukur kepada ALLAH? Di antaranya dengan berzakat, melakukan korban, serta membuat amal bakti seperti bersedekah dan sebagainya. Dan kepada mereka itu ALLAH berfirman sebagai berikut:

Artinya: “Jika kamu bersyukur niscaya akan Aku tambah lagi nikmat-Ku kepadamu dan jika kamu kufur sesungguhnya siksaan-Ku sangat dahsyat.”

Dengan itu, natijah setiap amalan agar menjadi ibadah ialah dengan membelanjakan keuntungan yang diperoleh atau hasil usaha setiap pelaksanaan untuk jalan ALLAH. Seperti dibelanjakan untuk membantu kaum miskin atau anak-anak yatim. Jika berupa ilmu yang dicari maka ilmu itu hendaklah digunakan sesuai dengan yang diredhai ALLAH, begitu pula dengan natijah-natijah yang lain. Mestilah digunakan untuk perkara-perkara yang benar-benar sah dan halal.

5. Asas DALAM IBADAH

Kita telah menyentuh ibadah yang asas dalam bab-bab yang lalu. Dua perkara utama yang menjadi ibadah asas ialah rukun iman yang terdiri dari enam rukun dan rukun Islam yang terdiri dari lima rukun. Kedua hal itulah yang merupakan tapak untuk menegakkan segala amalan yang lain. Bila tidak ada kedua hal tersebut sama halnya seperti mendirikan rumah di atas air. Di dalam syariat Islam telah dijelaskan sebagai berikut:

Artinya: Yang awal di dalam agama ialah mengenal ALLAH Taala.

Begitu juga dengan lima perkara rukun Islam. Hal tersebut menjadi perkara asas yang perlu diketahui oleh setiap orang Islam dan melaksanakan amalan yang tergolong di dalamnya merupakan amalan asas. Amalan-amalan yang lain hanyalah merupakan batu-bata pelengkap suatu bangunan. Pokok segala amalan bermula dari rukun Islam. Di antara lima perkara dalam rukun Islam itu, adalah shalat. Rasulullah sangat menekankan begitu pentingnya amalan shalat dalam sabdanya:

Artinya: Shalat itu adalah tiang agama. Barang siapa telah mendirikannya maka dia telah mendirikan agama. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah meruntuhkan agama.

Bersabda Rasulullah :

Artinya: Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja nyatalah ia telah kafir.

Jadi sangat jelas bahwa setiap amalan berasas kepada dua perkara ini yang merupakan amalan yang paling wajib. Artinya tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Jika tidak ada rukun Iman dan rukun Islam, maka seluruh amalan lain, tidak ada artinya lagi. Jika kita ibaratkan amalan kita itu seperti sebatang pohon, rukun Iman adalah akar tunjangnya sedangkan rukun Islam adalah batang utamanya. Bila keduanya rusak, maka seluruh ranting-ranting, daun, bunga dan buah tidak ada artinya lagi.

Dalam keadaan demikian, kita perlu mengambil perhatian yang berat dalam soal mencari ilmu pengetahuan di bidang rukun Iman dan rukun Islam. Gabungan kedua rukun itu dapat diibaratkan sebagai raja di dalam sebuah negara, di mana seluruh rakyat mesti taat setia kepada raja. Berarti amalan yang utama ialah taat setia kepada raja sedangkan jika amalan itu tidak dilaksanakan, raja akan murka. Sekalipun rakyat itu mempunyai pribadi baik dan senantiasa beramal bakti sesama rakyat lain, namun jika ia ingkar dan tidak taat setia kepada raja, pasti raja tidak dapat mengiktiraf (mengakui) amal-amalnya yang lain. Dia tetap dianggap sebagai pendurhaka.

Tidak ada komentar: